Jaksa Agung ST Burhanuddin. (Tangkapan layar YouTube)
Hukum, BogorUpdate.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat CRJ 1000 dan ATR 72-600.
Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebutkan, kasus korupsi ini diduga telah merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp8,8 triliun. Pengadaan pesawat Garuda diduga melawan hukum dan menguntungkan pihak Lessor.
“Kami menetapkan dua tersangka baru, yaitu ES selaku Direktur Utama PT Garuda yang kedua adalah SS selaku Direktur PT Mugi Rekso Abadi” kata ST Burhanuddin saat konferensi pers di Kompleks Kejagung, Jakarta, Senin (27/6/22).
Burhanuddin mengungkapkan, bahwa Emirsyah Satar diduga bersama tim dibawahnya tidak melakukan evaluasi dan menetapkan pemenang pengadaan pesawat dengan tidak transparan, tidak konsisten dan tidak sesuai kriteria.
Perusahaan diduga mengabaikan prinsip-prinsip pengadaan yang harus dilalui sebagai pelat merah. Hal tersebut hingga mengakibatkan kerugian keuangan negara triliunan rupiah.
Meski ditetapkan sebagai tersangka, Kejagung tak melakukan upaya penahanan. Pasalnya, Emirsyah Satar saat ini juga tengah menjalani masa penahanan terkait kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Tidak dilakukan penahanan karena masing-masing sudah menjalani pidana atas kasus PT Garuda yang ditangani oleh KPK,” pungkas Burhanuddin.
Sebelumnya, Kejaksaan telah mengumumkan tiga tersangka di kasus ini. Di antaranya VP Strategic Management Office Garuda Indonesia 2011-2012, Setijo Awibowo; Executive Project Manager Aircraft Delivery PT Garuda Indonesia 2009-2014, Agus Wahjudo; dan VP Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk periode 2005-2012 Albert Burhan.
Ketiga tersangka dijerat dengan pasal primer Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Subsider Pasal 3 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.