Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Yusfitriadi. (BU)
Cibinong, BogorUpdate.com – Belum lama ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyampaikan secara terbuka peningkatan transaksi keuangan mencurigakan setelah ditetapkannya Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2024. Sehingga patut diduga transaksi mencurigakan tersebut diperuntukan kepentingan kampanye pemilu 2024.
Bahkan ketua PPATK Ivan Yustiavanda menyebutkan kenaikan transaksi mencurigakan tersebut mencapai 100 persen. Disinilah salah satu urgensi adanya pasal yang mengatur dana kampanye. Sehingga jika transaksi mencurigakan tersebut tidak mampu diproses secara hukum, maka buat apa ada aturan dana kampanye.
Hal ini mendapat perhatian khusus dari Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Yusfitriadi. Menurutnya, kasus tersebut harus diproses secara tuntas dan transparan kepada publik.
“Kenapa harus transparan dalam proses penangan dan penegakan hukumnya, agar masyarakat bisa melihat siapa yang berperilaku jahat dan siapa yang tidak dalam mengikuti kontestasi pemilu 2024. Sehingga masyarakat bisa teredukasi secara politik dalam menentukan pilihan politiknya pada pemilu 2024,” ujarnya kepada Wartawan, Selasa (19/12/23).
“Dalam konteks ini saya memberikan apresiasi kepada PPATK yang telah menyampaikan kasus ini kepada publik dan secara resmi kepada penyelenggara pemilu. Tinggal apakah penyelenggara pemilu mampu merespon kasus ini atau tidak, mampu menindaklanjutinya melalui proses hukum atau tidak. Atau hanya sekedar merespon saja tanpa ada tindaklanjut, sebagai bentuk meredam opini publik,” sambungnya.
Founder Visi Nusantara Maju ini juga meminta agar beberapa hal yang harusnya dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Pertama, KPU. Laporan dana kampanye baik kampanye untuk pasangam calon presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif maupun calon anggota DPD dipastikan sudah diterima oleh KPU.
Diawali dengan Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) yang dilanjutkan dengan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan dan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dama Kampanye (LPPDK) dan Laporan Akhir Dana Kampanye (LADK) dan Audit Dana Kampanye.
“Sehingga dengan berbagai instrumen yang dilaporkan ini, KPU harusnya bisa mengetahui pergeseran transaksi keuangan yang diperuntukan kampanye tersebut. Begitupun ketika tidak ada laporan, sudah bisa dipastikan berbagai intrumen dana kampanye tersebut hanyalah bersifat administratif,” jelasnya.
Sedangkan, lanjut Kang Yus sapaan akrabnya itu, praktik kampanyenya menggunakan dana diluar itu sangat mengkin yang digunakan adalah yang bersumber dari transaksi mencurigakan tersebut. Jika ini terjadi, maka KPU harus melaporkannya kepada Bawaslu sebagai bentuk komitmen terhadap aturan. Kedua, Bawaslu. Informasi dari PPATK tersebut harus dijadikan temuan oleh Bawaslu.
“Sehingga Bawaslu harus segera menangani dan memprosesnya secara hukum. Tentu saja kordinasi dan komunikasi dengan KPU dan PPATK menjadi penting. Komunikasi dengan PPATK untuk mengetahui secara jelas pihak mana saja yang diindikasi mencurigakan. Sedangkan komunikasi debgan KPU untuk meminta data laporan dana kampanye,” tegasnya.
Selain Bawaslu mengawasi keterbukaan KPU atas data tersebut, kepatuhan peserta pemilu dalam melaporkan dana kampanye dengan berbagai instrumen sesuai peraturan, juga mengawasi fakta dilapangan untuk mensinkronkan laporan dana kampanye dengan fakta di lapangan dana yang digunakan untuk kampanye.
“Walaupun saya sangat pesimis bawaslu bisa menjangkau semua itu, karena bawaslu selama ini pengawasannya hanya bersifat administrtif, tidak bersifat investigatif. Ketiga, Penegak Hukum lain. Transaksi keuangan yang mencurigakan juga merupakan domain penegak hukum lain seperti kepolisian,” jelasnya lagi.
Oleh karena itu ketika KPU dan Bawaslu tidak mampu mengungkap kasus ini, tinggal kepada penegak hukum yang lain untuk bisa menanganinya.
“Jika kasus ini tidak dituntaskan, maka akan selalu terulang, membuat nyaman para “penjahat Pemilu” dan demokrasi dalam pemilu akan semakin jauh dari kwalitasnya,” tukasnya.