Bogor RayaHomeNews

Hedonisme dan Polisi

Gedung Mabes Polri. (Net)

Oleh: Saiful Kurniana
Wakil Pimpinan Redaksi BogorUpdate.com

Opini, BogorUpdate.com – Ada alasan khusus dan mesti logis saat predikat miliarder di sematkan ke anggota polisi, sebab kekayaan bisa jadi bumerang kalau predikat miliarder ini dicatatkan sementara hampir semua masyarakat tahu seberapa besar gaji seorang polisi, bahkan yang berpangkat jenderal sekalipun.

Kekayaan biasanya identik dengan perilaku dan gaya hidup. Sedangkan gaji polisi yang sebenarnya bisa di takar, akan jadi kontras kalau polisi memiliki rumah dan mobil mewah, aset bertebaran dan deposito ber angka miliaran.

Kata presiden, “Hati hati yang nama nya kapolres, wakapolres, seluruh pejabat utama, perwira tinggi ngerem total masalah gaya hidup,”

Presiden menunjuk objek gaya hidup polisi terutama perwiranya sebagai bahasan subtantif yang dianggap mengkhawatirkan.

Benang merah yang bisa di baca dari ucapan RI 1 ini. Spesifik bisa di artikan sebagai bola liar yang selama ini jadi salah satu pangkal masalah. Gemar kemewahan memiliki potensi menyimpang. Sebab Polisi dengan pangkat nya memiliki kuasa atas penegakan hukum berdasarkan undang-undang.

Kuasa atas penegakan hukum berarti pengendali yang bisa membawa hukum ke kiri atau ke kanan, meski hukum harusnya berdiri tegak dan berjalan lurus. Sebab hukum yang berdiri tegak akan melahirkan keadilan bagi pencarinya, dan atau kepastian punishment untuk pelanggarnya.

Simpel untuk membicarakannya, namun gambaran hukum ditangan polisi yang harusnya menjadi penegak, terdegradasi oleh oknum berbaju coklat sendiri. Hukum tercabik karena perbuatan pidana justru oleh penegak hukum. Dan masyarakat dipaksa menyaksikan drama memilukan ini justru di tengah mimpi hukum bisa menjamin kehidupan sosial yang aman dari penegak hukum yang sesat.

Perwira polisi berpangkat Irjen menembak polisi ajudannya yang berpangkat Brigadir. Kasus mencuat bersama keprihatinan. Belum reda kasusnya, Perwira polisi dengan pangkat yang sama harus juga berurusan dengan hukum. Masuk ke jaringan peredaran narkoba dengan menjual barang bukti yang mestinya harus di musnahkan.

Dari dua kasus ini, narasi nyinyir juga jadi isu miris, Irjen Ferdy Sambo di sandingkan dengan bisnis gelap judi yang konon juga menyimpan rupiah dengan angka hampir menyentuh satu trilun di sebuah bungker.

Berikutnya, banyak kalangan yang belakangan berhitung saat barang bukti sabu dari tangan jaringan jual beli narkoba Irjen Teddy Minahasa telah terjual 2 kilogram dari 5 kilo gram barang bukti yang di sita. Besar kecil yang pasti besar angka yang terhitung dari satu kasus yang terungkap.

Kedua, kasus ini belakangan dikonotasikan dengan perbendaharaan harta yang dimiliki dua oknum jenderal polisi tersebut. Keduanya mewakili kalangan elit dengan status polisi. Berikutnya, ada konsorsium jaringan yang bisa di gerakan kedua jenderal bintang dua untuk praktek perdagangan ilegal narkoba, atau memalsukan data modus pembunuhan sadis. Dan jaringan itu oknum baju coklat yang di tubuh Polri.

Tubuh Polri mewakili kondisi kritis sebuah institusi vital di Indonesia. Tidak heran kalau Presiden mengambil alih fungsi pembinaan yang harusnya tetap berada di tangan Kapolri. Ratusan perwira menengah hingga perwira tinggi dikumpulkan di istana mendapat arahan presiden untuk masalah subtansial, Jumat (14/10/22) lalu. Salah satu nya seolah soal gaya hidup hedon yang mestinya tabu untuk seorang polisi.

Disisi lain, banyak polisi yang justru menikmati pekerjaan sampingan mereka meski hanya jadi pemulung sampah atau tukang tambal ban.

Bripka Saladi, salah satu anggota polisi merelakan dirinya berbaur dengan sampah sekedar untuk mendapat penghasilan tambahan. Polisi yang bertugas di daerah Malang ini bahkan mengaku bangga dengan pekerjaan nya yang sederhana asal tidak mengganggu tugas yang di emban.

Di Sulawesi Selatan, salah satu anggota Polsek Ujung Pandang, Aiptu Mustamin tidak segan membuka bengkel tambal ban sebagai pekerjaan sampingan.

Kedua pekerjaan sampingan dua polisi ini jelas tidak akan pernah menghasilkan uang besar. Namun begitu mereka melakukan hanya ada espektasi sederhana soal penghasilan dan yang pasti mereka bersih dari keinginan untuk memanfaatkan status nya sebagai polisi.

Kalau dua polisi ini tidak dianggap mewakili 400 ribuan polisi yang ada di tanah air, ada hikmah yang bisa di adopsi bahwa polisi dengan pangkat apapun bisa melakukan pekerjaan lain dengan mereduksi keinginan sekaligus membuang jauh rasa ingin memanfaatkan pangkat jabatan apalagi institusi.

Di tingkat nasional, membuang ketabuan untuk mengungkap banyak perselingkuhan oknum polisi harus berjalan masif dan terstruktur. Sebab jika perselingkuhan ini bermula dari rasa cinta hedonisme, tidak menutup kemungkinan institusi polisi akan semakin terpuruk dan jatuh pada praktek manipulasi hukum.

Exit mobile version